Selasa, 19 November 2013
In:
budaya
,
Bukittinggi
,
jam gadang
,
khas
,
minangkabau
,
sumatera barat
,
unik
JAM GADANG
Jam Gadang adalah landmark kota
Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat
ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun.
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh.
Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu
masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada
Controleur (Sekretaris Kota).
Simbol khas Bukittinggi dan
Sumatera Barat ini memiliki cerita dan keunikan dalam perjalanan sejarahnya.
Hal tersebut dapat ditelusuri dari ornamen pada Jam Gadang. Pada masa
penjajahan Belanda, ornamen jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri
patung ayam jantan. Namun saat Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis
di Indonesia kepada Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk
klenteng. Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng
diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau.
Dari menara Jam Gadang, para
wisatawan bisa melihat panorama kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit,
lembah dan bangunan berjejer di tengah kota yang sayang untuk dilewatkan. Saat
dibangun biaya seluruhnya mencapai 3.000 Gulden dengan penyesuaian dan renovasi
dari waktu ke waktu. Setiap hari ratusan warga berusaha di lokasi Jam Gadang.
Ada yang menjadi fotografer amatiran, ada yang berjualan balon, bahkan mencari
muatan oto (kendaraan umum) untuk dibawa ke lokasi wisata lainnya di Bukittinggi.
“Jam Gadang ini selalu membawa
berkah buat kami yang tiap hari bekerja sebagai tukang foto dan penjual balon
di sini. Itu sebabnya jam ini menjadi jam kebesaran warga Minang,” ujar
Afrizal, salah seorang tukang potret amatir di sekitar Jam Gadang.
Untuk mencapai lokasi ini, para
wisatawan dapat menggunakan jalur darat. Dari kota Padang ke Bukittinggi,
perjalanan dapat ditempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan menggunakan
angkutan umum. Setelah sampai di kota Bukittinggi, perjalanan bisa dilanjutkan
dengan menggunakan angkutan kota ke lokasi Jam Gadang.
UNIKNYA JAM GADANG
Angka-angka pada Jam Gadang
banyak media mengatakan memiliki keunikan. Angka empat pada angka Romawi
biasanya tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII. Sepintas,
mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26 meter tersebut.
Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat
dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement dasar seukuran 13 x 4 meter,
ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari
kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam
besar.
Bahkan tidak ada hal yang aneh
ketika melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada
angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari
pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam
Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII).
Penulisan yang diluar patron
angka romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi misteri. Tapi uniknya,
keganjilan pada penulisan angka tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih
“menantang” dan menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan)
mengetahuinya dan memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul
pertanyaan apakah ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau
atau yang lainnya.
Dari beragam informasi ditengah
masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai penunjuk
jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang
mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal
setelah jam tersebut selesai.
Jika dikaji apabila terdapat
kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada kemungkinan dari deretan daftar
misteri. Tapi setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan. Namun yang
patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia.
Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang
bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan
terkenal) diberi nama Brixlion.
Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika
Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika
Angka IIII bukanlah sebuah
keanehan
Keberadaan angka IIII bukan
hanya terdapat di Jam Gadang saja, berikut gambar jam yang memiliki angka IIII
bukan IV.
Berdasarkan Wikipedia, sejarah
penulisan angka IIII tersebut berdasarkan kepada King Louis XIV (5 September 1638
- 1 September 1715) yang meminta kepada seorang untuk membuat sebuah jam
baginya. Pembuat jam memberi nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka
Romawi. Setelah melihat jam yang diberikan kepadanya, Raja tidak setuju dengan
penulisan IV sebagai angka "4" dengan alasan ketidakseimbangan
visual.
Menurutnya, angka VIII ada di
seberang angka IV. Jika ditulis IV, maka ada ketidakseimbangan secara visual
dengan VIII yang lebih berat. Oleh karena itu, Louis XIV meminta agar diubah IV
menjadi IIII sehingga lebih seimbang dengan VIII yang ada di seberangnya.
Selain itu, jika dikaitkan dengan angka XII, maka keseimbangan itu akan lebih
baik. Akan tetap yang menjadi pertanyaannya mengapa Raja yang memerintahkan
perubahan itu lebih dikenal dengan Louis XIV daripada Louis XIIII, sesuai
dengan permintaannya kepada pembuat jam. Dari sebuah situs lain... yang
berjudulkan "FAQ: Roman IIII vs. IV on Clock Dials" dapat dilihat
disana, Seorang yang bernama Milham mengatakan bahwa penjelasan seperti di atas
tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, penulisan IIII untuk angka "4"
telah ada jauh sebelum Louis XIV. Dari wikipedia bahwa penomoran Romawi memang
bervariasi dari awalnya. Pada masa awal angka "4" memang ditulis IIII
dengan empat huruf I.
Penulisan "4" menjadi
IV hanya terjadi di masa modern, yang menunjukkan bahwa "empat adalah
kurang satu dari lima". Manuskrip Forme of Cury (1390) menggunakan IX
untuk "9" namun IIII untuk "4". Sedangkan dokumen lain dari
manuskrip yang sama di tahun 1380 menggunakan IX dan IV untuk "9" dan
"4", berturut-turut.
Lebih lanjut, ada manuskrip
ketiga yang menggunakan IX untuk "9" dan campuran antara IIII dan IV
untuk "4". Angka "5" juga ditemukan disimbolkan dengan
IIIII, IIX untuk "8" dan VV, bukannya X, untuk "10".
Kesaksian lain dari situs
tersebut, Franks, menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat jam matahari yang
dibuat sebelum abad ke-19 yang menggunakan angka IV, semuanya IIII. Sehingga,
para ahli jam heran dengan arsitek masa ini yang membuat jam menara besar-besar
menulis "4" dengan IV, bukan IIII. Salah satu yang menggunakan IV,
bukan IIII, adalah Big Ben. Jadi, implisit dikatakan bahwa Big Ben telah melanggar
konvensi per-jam-an!
Penjelasan lain cukup menarik.
Harvey, di situs yang sama, mengatakan bahwa IV adalah singkatan dari dewa
Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Jadi, jika IV diletakkan di dalam jam
bangsa Romawi, maka jam itu akan bertuliskan 1, 2, 3, DEWA, 5...
Jika dilihat dari kacamata
bangsa Romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan mereka ditaruh di jam
seperti itu. Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV , maka mungkin ia
tidak ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam. Mana yang benar ? kita tidak
tahu. Masih di situs yang sama, menurut Mialki, alasan penggunaan IIII bukan IV
semata-mata masalah teknis. Jika IV yang digunakan, maka pandai besi harus
membuat huruf I sebanyak 16 batang, huruf X sebanyak 4 batang, dan V
sebanyak 5 batang. Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis
kalau membuat besi dalam kelipatan empat. Jika ditulis IV untuk "4",
maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang. Sementara itu, jika
"4" ditulis IIII, maka huruf V hanya dibuat empat batang--dengan
demikian ekonomis--dan huruf I sebanyak 20 batang--juga ekonomis.
Sekali lagi, mana yang benar
dari penjelasan ini ? Belum ada yang pasti. Namun, satu yang kita tahu sekarang
adalah bahwa angka IIII di Jam Gadang bukanlah sesuatu yang unik, aneh atau
dianggap sebagai misteri yang dikait-kaitkan dengan takhayul. Justru dengan
angka IIII itulah menjadikan sebuah bukti bahwa bangsa Eropa (Belanda) memang
menjajah kita dulu dan tidak memberi kita barang yang jelek, justru yang bagus
yang masih dipergunakan dan dibanggakan hingga sekarang.
2. Janjang Ampek Puluah
Jenjang ini dibangun pada tahun
1908 yang pada awalnya merupakan sebagai penghubung antara Pasar Atas dengan Pasar Bawah.
Sebagai salah satu objek wisata di Kota Bukittinggi, jenjang ini telah
memberikan inspirasi kepada pencipta lagu Minang Syahrul Tarun Yusuf dengan
judul lagu "Andam oi”
Disadur dari berbagai sumber :
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar